Sumatera Barat – Perkumpulan Advokat Indonesia (PERADIN) menilai keberadaan Mahkamah Nagari atau Mahkamah Desa sangat penting dan strategis sebagai wujud nyata penegakan hukum berbasis adat di tingkat nagari. Lembaga ini diyakini dapat memperkuat akses keadilan bagi masyarakat, mempercepat penyelesaian sengketa, serta mengurangi beban perkara di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.
Wakil Ketua DPW PERADIN Provinsi Sumatera Barat, Advokat Ki Jal Atri Tanjung, menegaskan bahwa pembentukan Mahkamah Nagari merupakan langkah konkret mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat, khususnya Pasal 5 huruf C yang menegaskan filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK) sebagai dasar kehidupan sosial, budaya, dan hukum di ranah Minangkabau.
“Mahkamah Nagari adalah manifestasi dari semangat masyarakat Minangkabau dalam menegakkan hukum yang berkeadilan, cepat, dan murah, tanpa meninggalkan nilai adat dan syarak. Ini adalah bentuk nyata implementasi ABS-SBK dalam bidang hukum,” ujar Ki Jal Atri Tanjung, di Padang, Selasa (4/11/2025).
Menurutnya, baik Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2023 yang akan berlaku efektif pada Januari 2026, sama-sama telah mengakomodir eksistensi hukum adat. Namun, hingga kini belum terlihat political will yang kuat dari Pemerintah Daerah Sumatera Barat untuk mengimplementasikan amanat besar tersebut.
“Pemerintah daerah harus segera menyusun peraturan daerah dan menyiapkan perangkat hukum adat agar Mahkamah Nagari benar-benar berjalan, bukan hanya wacana,” tegasnya.
Landasan Hukum dan Dukungan Regulasi
Ki Jal Atri juga menjelaskan bahwa secara yuridis, Mahkamah Desa telah memiliki dasar hukum yang kuat melalui beberapa peraturan nasional, di antaranya:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memberikan kewenangan kepada desa untuk menyelesaikan sengketa masyarakat melalui lembaga adat.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang pengelolaan potensi desa, yang turut memperkuat kelembagaan sosial dan adat.
Peraturan Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi, yang mengatur pedoman pelaksanaan Mahkamah Desa.
Mahkamah Desa diharapkan menjadi solusi keadilan bagi masyarakat pedesaan, sekaligus memperkuat sistem hukum nasional dari bawah ke atas (bottom-up).

Dukungan dari PERADIN Pusat
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum DPP PERADIN, Advokat Ropaun Rambe. menyampaikan dukungan penuh terhadap gagasan penguatan Mahkamah Nagari sebagai model peradilan adat yang selaras dengan sistem hukum nasional.
“PERADIN melihat Mahkamah Nagari bukan sekadar lembaga adat, melainkan cermin dari hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law).
Negara harus memberi ruang dan legitimasi yang jelas agar keadilan dapat diakses oleh semua lapisan rakyat, termasuk di tingkat nagari,” ujar Ropaun Rambe.
Lebih lanjut, Ropaun menegaskan bahwa penerapan ABS-SBK di bidang hukum merupakan wujud nyata kedaulatan hukum lokal yang harus dijaga. Ia menilai Sumatera Barat memiliki potensi besar menjadi model nasional peradilan berbasis kearifan lokal.
“Mahkamah Nagari adalah representasi nilai luhur bangsa yang berakar pada keadilan sosial dan musyawarah. Ini sejalan dengan semangat konstitusi kita. Pemerintah daerah perlu segera menunjukkan political will yang kuat untuk mewujudkannya,” tambahnya.
Menguatkan Identitas dan Keadilan Lokal
Melalui UU Nomor 17 Tahun 2022, filosofi ABS-SBK telah diakui sebagai dasar kehidupan masyarakat Minangkabau. Undang-undang ini memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap adat dan budaya, sekaligus mendorong peningkatan kualitas pemerintahan daerah yang mempertimbangkan nilai-nilai lokal.
Namun demikian, Pasal 5 huruf C UU tersebut juga menimbulkan perdebata, terutama terkait keberagaman budaya di Sumatera Barat seperti masyarakat Mentawai, yang memiliki sistem adat berbeda. Oleh karena itu, pelaksanaan Mahkamah Nagari perlu dilakukan dengan prinsip inklusif dan menghargai keberagaman budaya.
PERADIN menilai pembentukan Mahkamah Nagari di Sumatera Barat merupakan langkah penting menuju penegakan hukum yang berkeadilan, partisipatif, dan berbasis nilai-nilai adat.
Dengan dukungan penuh dari masyarakat, lembaga adat, dan pemerintah daerah, Mahkamah Nagari dapat menjadi model nasional peradilan berbasis adat yang memperkuat integrasi antara hukum negara dan hukum yang hidup di masyarakat.



































