Jakarta – Sudut pandang Maestro Hukum selalu membuka ruang kebatinan tentang hakiki sebuah hukum dan keadilan, dan menantang sudut pandang kalangan *intelektual kontemporer* yang selalu berusaha membangun konsep hukum dan keadilan secara eropa centris, mewah, glamour dan elitis.
Jika dijalankan dengan benar, regulasi ini akan menjadi pintu kebangkitan hukum adat Indonesia, sekaligus revolusi keadilan sosial di tingkat desa.
Kaum intelektual kontemporer Indonesia menganggap bahwa kaum penjajahlah yang mengajarkan hukum dan membangun keadilan, dan seolah olah pada periode pra-penjajahan Indonesia adalah negeri rimba tanpa hukum dan keadilan.
Maha Guru Hukum, Advokat Ropaun Rambe, membuktikan sebaliknya, bahwa Pra-Penjajahan, Indonesia adalah negeri yang memiliki norma norma luhur yang berlandaskan kekuatan moral dan keutuhan sosial, yang sekarang memiliki ruang untuk hidup kembali setelah sekian ratus tahun diberangus oleh penjajah.
Melihat perjuangan Maha Guru Hukum, Para Leluhur bangsa Indonesia akan berkata, “Sekarang aku akan istirahat dengan tenang karena sudah ada kesatria titisanku yang mengembalikan Marwah bangsa ini”.
Dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana baru yang Efektif berlaku 02 Januari 2026 dengan Hukum Adat mengakui keberadaannya yang hidup dalam masyarakat (living law).
Ketua Umum Perkumpulan Advokat Indonesia (PERADIN), Ropaun Rambe, menilai bahwa berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 pada tahun 2026 mendatang merupakan momentum kebangkitan hukum nasional yang berpijak pada nilai-nilai lokal dan keadilan sosial.
Ropaun menegaskan, KUHP Nasional 2023 tidak hanya menjadi produk hukum formal semata, melainkan juga titik balik sejarah penegakan hukum pidana Indonesia yang menempatkan hukum adat serta peran masyarakat desa sebagai bagian integral dari sistem keadilan nasional.
“KUHP Nasional 2023 diharapkan membawa perubahan besar dalam sistem hukum pidana kita. Salah satu aspek pentingnya adalah pengakuan terhadap hukum adat dan peran desa adat dalam merumuskan serta mengimplementasikan ketentuan pidana yang hidup di masyarakat,” ujar Ropaun Rambe dalam keterangan resminya.
Menurutnya, pasal-pasal dalam KUHP baru memberikan legitimasi kuat terhadap eksistensi hukum adat yang selama ini hanya dijalankan berdasarkan kebiasaan dan nilai lokal tanpa dukungan norma formal negara.
“Selama ini hukum adat hanya dipraktikkan tanpa dasar hukum yang jelas. Dengan KUHP baru, penyelesaian perkara pidana di tingkat lokal memiliki legitimasi yang sah dan diakui negara,” tegas Ropaun Rambe.
Ia menjelaskan bahwa KUHP Nasional 2023 mengandung roh restorative justice, yaitu penyelesaian perkara secara musyawarah untuk memulihkan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat. Prinsip ini sejalan dengan Pasal 5 ayat (1) KUHP Nasional 2023 yang mengakui hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) sebagai sumber hukum pidana yang sah.
“Pendekatan ini sangat sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal. Hukum bukan semata untuk menghukum, tetapi juga memperbaiki, memulihkan, dan menumbuhkan kembali keadilan sosial di akar rumput,” tutur Ropaun Rambe.





































