Jakarta, 28 Juni 2025 — Menanggapi kasus Lurah Malaka Sari yang meminjam uang dari bawahannya (petugas PPSU), Deddi Fasmadhy Satiadharmanto, pemerhati hukum administrasi negara dan tata kelola pemerintahan, menyampaikan pandangan kritis terkait pentingnya membangun budaya akuntabilitas birokrasi dan pembentukan niat baik (good faith) dalam penyelenggaraan pemerintahan.
“Pemerintahan yang bersih bukan sekadar soal tidak melakukan korupsi, tetapi tentang bagaimana setiap pejabat memahami dan menahan diri dari menggunakan kekuasaan—sekecil apa pun—untuk kepentingan pribadi,” ujar Deddi.
Menurut Deddi, perbuatan pejabat publik yang meminta atau meminjam uang dari bawahannya, meskipun diklaim dilakukan atas dasar pribadi dan telah dikembalikan, mencerminkan lemahnya kesadaran etis dalam tubuh birokrasi. Perbuatan tersebut tidak bisa dinilai dari aspek moral semata, tetapi juga harus dikaji dari segi struktur kekuasaan, relasi jabatan, serta dampaknya terhadap martabat institusi publik.
Akuntabilitas Birokrasi Tidak Bisa Ditawar
Deddi menegaskan bahwa dalam sistem pemerintahan yang demokratis, setiap penyelenggara negara memikul tanggung jawab konstitusional untuk menjaga kepercayaan publik.
“Akuntabilitas bukan hanya soal laporan keuangan, tetapi soal perilaku sehari-hari. Ketika seorang lurah meminjam uang dari PPSU, yang notabene adalah pekerja rentan, maka itu bukan soal ‘pinjam-meminjam’ biasa. Itu menyangkut integritas jabatan,” tegasnya.
Ia juga menilai bahwa upaya pembiaran terhadap praktik semacam ini akan menciptakan normalisasi penyalahgunaan kekuasaan secara halus, dan membuka celah bagi praktik-praktik yang lebih serius ke depannya.
Niat Baik Harus Terstruktur
Deddi menekankan bahwa niat baik dalam birokrasi tidak cukup ditunjukkan secara lisan atau personal, melainkan harus dibingkai dalam sistem dan norma hukum. Ia menyarankan agar pemerintah daerah:
Memperkuat kode etik jabatan hingga ke tingkat kelurahan,
Membangun mekanisme whistleblower protection bagi staf yang ingin melaporkan tekanan jabatan,
Memberikan pembinaan etik struktural secara berkala, bukan hanya saat terjadi pelanggaran.
Penerapan Ultimum Remedium: Jalan Terakhir Bukan Jalan Diam
Terkait dengan kemungkinan pendekatan hukum pidana terhadap kasus ini, Deddi menyatakan:
“Ultimum remedium tidak berarti kita diam. Ia tetap bagian dari sistem hukum yang hidup. Bila sanksi administratif gagal memberikan efek jera, dan ada indikasi penyalahgunaan kekuasaan, maka pendekatan pidana layak dipertimbangkan.”
Kasus Lurah Malaka Sari seharusnya menjadi titik tolak refleksi atas pentingnya membangun budaya niat baik, integritas, dan kepekaan etis dalam birokrasi publik. Deddi menutup pernyataannya dengan mengingatkan:
“Negara kuat bukan diukur dari banyaknya sanksi, tetapi dari tumbuhnya kesadaran batin aparatur negara untuk tidak menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan rakyat.”




































