Selatan News, Temanggung- Jika meminjam bahasa psiko analisa orang teater ihwal peran, gerombolan pengacara itu berkepribadian ganda.Ambivalensi antara dalil-dalil normatif jualannya dengan syahwat politik mesumnya,popularitas dan materialisme duniawi. Bergaya hidup selebriti pula. Maka di panggung konstitusi seperti pentas teater yang edan dan absurb, penuh anomali dan jiwa-jiwa sakit, nyaris sama jahat dan hanya sampah dengan junjungan penjahat yang dibelanya, penguasa negeri pesta mabuk para jahanam. Lakon yang nggak edan tak ambil bagian!
Awam paham bahwa pembelaan penjahat sekali pun syarat mutlak pengadilan.Tapi apalah gerombolan pengacara tanpa integritas dan jauh dari amanah.Bergerombol jumpa pers, bersandiwara di pasar kaget mengobral ilmu hukumnya semurahnya betapa pun mahal cuan-nya karena miskin moralitas.Bertingkah seperti pendekar dengan senyum yang ganjil dan mengerikan.Moga mahkamah setegarnya iman dan amanah, tak tergoyahkan gerombolan pengacara sampah itu.Atau sejarah mencatat itu pasti, dengan anak-anak jamannya yang memberikan kesaksian.
Lalu berita-berita utama mempengaruhi kesadaran kolektif publik,masih lebih yang dominan pers yang terkoptasi sebagai salon pemenuh syahwat mabuk kekuasaan dan pencitraan penguasa tiran, dengan Kabinet Buzzer Maju pula. Parah sayap demokrasi kita dan pers yang mati fungsi kontrol sosialnya.Yang ada pembodohan massif oleh politik dinasti boneka neokolonial oligarki dan asing.
Sementara konser gerak suara mahasiswa dan guru besar terus memberikan kesaksian, kritis dengan antitesa perubahan namun justru yang harus direndahkan, dilecehkan dengan represi terhadap etika dan moralitas dari rezim yang memang biadap.
Kekuasaan menjebloskan hanya dimiliki Presiden,bukan lainnya. Menangnya Presiden ditambah dengan ketakutan lawan politiknya yang tersandera KKN, masukan jebakan pembiaran korupsi oleh kekuasaan berwatak dungu, lugu tapi keji dan sangat merusak.
Tak berkutik mereka itu melawan penggunaan kekuasaan yang salah, entah Presiden entah Menteri entah Kapolri entah Panglima TNI, itu yang namanya detournement de pouvoir (a buse of power).
Aparatur formal yang mestinya bertugas menegakkan aturan main agar tetap dalam koridor konstitusional terjangkiti ketakutan kehilangan kursi.
Maka perjuangan harus dengan berbagai strata bahasa. Bahasa kelas menengah keatas dan bahasa menengah ke bawah. Harus disadarkan bahwa pembagian Bansos terus menerus itu sama saja dengan memelihara kemiskinan. Pendidikan yang tidak terarah memelihara kebodohan. Menaikkan pajak edan-edanan memelihara sumber korupsi. Mempertahankan import memelihara ketergantungan,Investasi luar negeri memelihara oligarki. Pemanfatan aparatur negara memelihara kultus buta dan rezim makin taqabur melampaui batas merusaknya.
Orang-orang hukum dibelakang 02 itu cuma omong besar tapi kosong, tidak paham atau tidak mengerti hakekat landasan hukum dalam berbangsa dan bernegara. Contoh soal, masak ya mengklaim kalau Presiden mendukung 02 apakah itu salah? Itu adalah pertanyaan dan klaim yang sungguh bodoh. Presiden jelas nggak boleh memihak, kalau memihak ya pasti akan memanfaatkan fasilitas negara. Ini namanya persaingan tidak fair melenceng jauh dari azas Pemilu Jurdil.
Sepanjang Presiden memihak pasti tidak jujur dan tidak adil. Presiden pasti akan memanfaatkan fasilitas negara, tidak cuma uang negara tapi juga state aparatus, aparatur negara digunakan untuk memenangkan kontestan yang didukung, dan terbukti. Presiden menggunakan POLRI, TNI, Kejaksaan, Kepala Desa, ASN, Pj² Gubernur, Pj² Walikota/Bupati, Menteri, MK, bahkan KPK hanya untuk memenangkan kontestan yang didukung.
Kembali berita utama memenuhi media mainstream dan sosmed, senyum ganjil para penguasa dengan klaim kemenangan yang palsu dan pemilu yang brutal biadap.Yang paling strategis untuk menegakkan hukum dan tumbangkan tirani seperti hak angket pun tersandera korupsi atau masuk jebakan kekuasaan jahanam.Mau jadi jadi apa negeri ini?
- (Dari Dialog Kebudayaan dan Nyanyi Revolusi Agus Sapto Prasetio dan Heru Atna)